Surat Singkat Gili Trawangan
“Halo, selamat pagi..”
…………. !!!!!
“Baik pak baik, saya segera menuju
lokasi..”
Ya, aku sekarang sudah menjadi wanita
dewasa yang bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ternama di Jakarta. Bukan
lagi Mega yang masih ingusan dengan rok abu abu nya. Setelah lulus sma aku
melanjutkan S1 ku di perguruan tinggi di daerah bandung.
Kejadian hari itu masih membayangi sebagian
kehidupan ku. Selama 6 tahun aku membiasakan diri membenahi sisa sisa puing
penyesalan yang entah sampai kapan masih tercecer di ruang hati ini. Aku
berusaha maju selangkah demi selangkah meninggalkan segala masa lalu yang
sungguh masih teringat jelas di memori ingatanku.
Sungguh sejak hari itu, “dia” tidak pernah
ku ketahui keberadaan nya. Sering kali aku menyambangi rumah lama nya, namun
bak menabur garam di lautan luas, tidak sedikitpun informasi aku terima, semua
sia sia seperti itu saja. Aku tidak
pernah merasa sesepi 6 tahun belakangan ini, dihantui oleh penyesalan, diikuti
oleh bayang hitam nya. Tiada henti aku mencoba menata kembali ruang hati ini,
memang semua sudah kembali seperi sedia kala, tidak ada yang berantakan sedikit
pun. Tapi setelah hari itu, aku seperti
membangun ruang khusus untuk menyimpan segala kepingan penyesalan. Kepingan
yang tidak bisa aku buang jauh, kepingan yang merobek dinding dinding hati,
kepingan yang….. ah entahlah seperti apa itu bentuknya, namun aku selalu
mencoba terbiasa dengan luka akibat kepingan itu.
“eh Meg, tumben masih di depan kompi
kesayangan lo”
“iya nih Bar, kerjaan gue masih numpuk”
“ayo makan siang dulu lah, tinggalin penat
lo”
“ga bisa Barrraa… ini udah mepet semua”
“udah ayooo !”
Pergelangan tangan ku di tarik barra dengan
paksa, sakit sih, tapi apa daya perut sudah minta di kasih sumbangan.
Lagi pula mana bisa konsen ngerjain kerjaan kalo perut keroncongan gak karuan.
Barra adalah teman sekantor ku, kami dekat
sejak pertama aku bekerja disini. Dia
lebih senior, sering membantu ku sejak awal awal aku masuk. Tidak ada yang lebih soal perasaan, ya biasa saja.
Aku hanya menganggap nya teman meski sering menyamar menjadi pacar rekayasa nya
di saat saat tertentu.
“Meg, lo gak bosen apa gawe mulu, mantengin
kompi indah lo?”
“jangan tanya Bar, udah muak gue bahkan
dengan tugas bejibun dimeja gue”
“liburan yuk.. minta cuti lah seminggu.
Kepala gue juga udah kliyengan nih, mata gue juga udah pengen liat yang seger
seger”
“es batu kali seger..”
“yeh canda, serius nih gue..”
Singkat cerita akhirnya kami meminta cuti
di waktu yang bersamaan, kami pergi ke tempat indah di Pulau Gili Ttrawangan.
Sejuk, indah, ah lupalah semua penat di kota ketika kami sampai disana dan disambut
bisikan ombak yang terus mengajak menari. Tapi, kami putuskan untuk
beristirahat sejenak di hotel, sebelum menyapa ombak ombak di tepi pantai.
Tepat pukul 7 malam, suara bell pintu
berbunyi, aku pikir siapa, ternyata Barra dengan cengiran khasnya berdiri kokoh
di balik pintu. Ia mengajak ku untuk makan malam sembari menikmati suasana
pantai di kala gelap. Tanpa pikir panjang, aku menyetujui ajakan nya. Kami
duduk benar benar di restaurant tepi
pantai, disana juga ku lihat beberapa turis sedang menikmati hidangan dengan
suasana tenang seperti ini. Lilin lilin sengaja di pajang untuk menambah kesan
romantic, dan memang cukup membuat ku terkesan. Saat masuk, kami terlebih
dahulu mengisi buku tamu di meja receptsionist, semua tamu wajib mengisinya
tanpa terkecuali. Tak lama kemudian hidangan datang, dan kami tanpa basa basi
langsung menyantapnya sambil bersenda gurau menghilangkan penat. Di sela sela
itu..
“gue sayang sama lo Meg, cinta, udah
lama..”
aku terdiam sejenak, berusaha menyadarkan diri dari sisa sisa makanan yang
membuatku tersendak ketika mendengar pernyataan Barra yang tidak aku sangka.
“kok diem sih, jawab dong..”
“jawab apaan Bar, lo gak nanya apa apa kan
sama gue”
“yehilah make basa basi, masa begitu aja ga
ngerti, mau gak jadi pacar gue?”
“jangan bercanda ah, gak lucu Bar”
“apa setiap saat gue selalu bercanda Meg?
Iya? Apa lo selalu nganggep gue bercanda Meg?”
“iya Bar maaf”
“yaudah jawab buruan ah”
Hari itu, sungguh Barra menguak seluruh isi
hati ku, menguak tentang si “Dia” yang entah kemana hadirnya selama ini.
Tentang si “Dia” yang 6 tahun lamanya kunanti hari nya kembali. Tentang si
“Dia” yang entah sudah menjadi milik siapa. Tentang si “Dia” yang….
“JAWAB WOY ! MALAH BENGONG! “
Hentakan suara Barra membangunkan ku dari lubang
masa lalu yang amat dalam ini. Aku masih berpikir membisu. Apakah ini jawaban
dari segala penantian ku? Apakah ini ….
“Iya Bar, gue mau…. “
Barra tersenyum lega mendenganya. Ya mungkin ini sudah waktunya aku megisi kembali ruang ruang yang kosong di hati ini,
meski ada satu ruang yang tak pernah bisa terjamah oleh siapa pun. Ruang itu
ruang dimana aku menyimpan segala puing penyesalan masa lalu.
Malam itu, sungguh luar biasa, aku
dijadikan wanita paling bahagia di antara wanita lain. Sampai pukul 10 malam,
akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Barra jalan terlebih
dahulu dan menunggu ku di pintu keluar. Sedangkan aku permisi untuk ke toilet.
Setelah selesai dari toilet aku kembali ke meja makan ku untuk mencari ikat
rambut yang terjatuh saat kami makan tadi sepertinya. Tiba tiba ada pelayan
menghampiriku, ku pikir ia hanya ingin
membersihkan meja makan yang tadi kami tempati, ternyata ia memberiku sepucuk
surat.
“Dari siapa ini ..”
“Dari orang di seberang sana bu..” ia menunjuk sebuah meja yang sudah kosong tanpa penghuni.
“kok gak ada?”
“mungkin sudah pulang..”
“baik terimakasih ya .”
“iya Bu..”
Pelayan itu menjauh meninggalkanku,
perlahan aku buka surat itu, dan isinya….
“ngapain Meg, lama amat, aku nunggu kamu
loh dari tadi..”
“iya iya maaf, aku mencari ikat rambut yang
terjatuh tadi Bar.”
“yaudah yuk pulang, udah malem, angin malam kan ga bagus buat kamu”
Aku urungkan niat ku membuka nya.
Pagi yang cerah telah datang, dengan segala
keindahan yang menyentuh jiwa. Terimakash tuhan kau masih memberi kesempatan
kami melihat indahnya hari ini. Aku teringat pada sepucuk surat malam itu, ku
cari di tas ku, dan bersyukurlah masih dalam keadaan utuh. Perlahan ku buka…
“Bahagialah semampu mu”
Hah? Cuma tiga kata, dengan makna yang
ambigu, di tambah pengirim yang misterius, sungguh aku tidak memperdulikan
surat itu. Ah mungkin hanya surat dari orang iseng, tepisku.
Setiap hari semasa liburan, kami selalu
makan malam di tempat itu, dan aku pun selalu mendapatkan sepucuk surat di tiap harinya dengan isi yang
berbeda.
“Tersenyum, dan aku bahagia melihat nya”
Itu isi surat ke 5 yang aku baca, semakin
lama semakin penasaran ku di buatnya, namun Barra tidak pernah mengetahui nya sedikitpun. Kami putuskan kembali ke Jakarta dengan jiwa penasaran yang masih membumbui
surat surat ini.
-:-
Aku kembali melakukan rutinitas seperti
biasanya, dengan tumpukan tugas di meja kantor ku. Setiap hari libur, aku dan
Barra menyempatkan diri pergi ke Gili Trawangan, ya untuk sekedar mengenang
saat saat awal kami berpacaran. Setiap liburan pula aku berkunjung ke
restaurant favorit kami, dan setiap itu pula aku mendapatkan kiriman surat
surat yang di antar oleh pelayan resto. Bukan 1 atau 2 buah surat, tapi ini lebih dari 10 surat, yang
entahlah apa maksud dari semua ini..
“Kok banyak banget pak?”
“Iya Bu, hampir setiap hari orang itu menitipkan surat untuk diberi ke Ibu. Ibu
juga udah lama gak kesini, jadi surat surat disini numpuk bu.. Setiap hari saya
nunggu di buku tamu berharap ada nama ibu, dan baru hari ini ada nama ibu.”
“oh iya deh pak, makasih ya..”
Sungguh ini tak biasa, aku baca semua surat
nya, aku coba pahami sekata demi sekata.
Perasaan ku benar benar sudah tidak bisa menganggap ini hal biasa, aku
ingin tahu siapa yang mengirim surat singkat ini.
Tanpa sepengetahuan Barra, pagi nya aku
mengunjungi restaurant tempat setiap malam kami makan. Aku mencoba mengais
segala informasi, aku cari dan aku perhatikan setiap nama di buku tamu itu,
beribu ribu nama orang tersemat di buku itu, namun, tidak ada yang ku kenal
satu pun, satupun. Ketika aku melemah dan mulai kecewa, aku ingat ! di sini ada
beberapa cctv, yang bisa kuminta datanya. Berkat bantuan kerabat, akhirnya aku
bisa masuk ke ruang cctv, dimana terdapat beberapa monitor, dan beberapa alat
yang tidak aku kenal. Aku masih ingat letak kursi yang di tunjukan pelayan itu
ketika pertama kali memberiku surat, aku masih ingat betul tanggal dan
waktunya. Aku dan petugas cctv mencoba terus menelusuri setiap detik demi detik
di cctv itu. Gambar nya cukup buram, susah dikenali, aku mencoba mengingat, aku coba terus menggali ingatan ku sedalam
yang aku mampu, mencoba memaksa otak untuk membuka rekaman di setiap detik di
kehidupan ku. Aku tercengang.. tetesan ini... aku tak bisa menahannnya…
“ Genta….“ bisik ku lirih.