Surat Singkat Gili Trawangan

Sunday, 27 October 2013


  Surat Singkat Gili Trawangan

“Halo, selamat pagi..”
…………. !!!!!
“Baik pak baik, saya segera menuju lokasi..”

     Ya, aku sekarang sudah menjadi wanita dewasa yang bekerja sebagai sekretaris di perusahaan ternama di Jakarta. Bukan lagi Mega yang masih ingusan dengan rok abu abu nya. Setelah lulus sma aku melanjutkan S1 ku di perguruan tinggi di daerah bandung.

    Kejadian hari itu masih membayangi sebagian kehidupan ku. Selama 6 tahun aku membiasakan diri membenahi sisa sisa puing penyesalan yang entah sampai kapan masih tercecer di ruang hati ini. Aku berusaha maju selangkah demi selangkah meninggalkan segala masa lalu yang sungguh masih teringat jelas di memori ingatanku.

       Sungguh sejak hari itu, “dia” tidak pernah ku ketahui keberadaan nya. Sering kali aku menyambangi rumah lama nya, namun bak menabur garam di lautan luas, tidak sedikitpun informasi aku terima, semua sia sia seperti itu saja.  Aku tidak pernah merasa sesepi 6 tahun belakangan ini, dihantui oleh penyesalan, diikuti oleh bayang hitam nya. Tiada henti aku mencoba menata kembali ruang hati ini, memang semua sudah kembali seperi sedia kala, tidak ada yang berantakan sedikit pun.  Tapi setelah hari itu, aku seperti membangun ruang khusus untuk menyimpan segala kepingan penyesalan. Kepingan yang tidak bisa aku buang jauh, kepingan yang merobek dinding dinding hati, kepingan yang….. ah entahlah seperti apa itu bentuknya, namun aku selalu mencoba terbiasa dengan luka akibat kepingan itu.

“eh Meg, tumben masih di depan kompi kesayangan lo”
“iya nih Bar, kerjaan gue masih numpuk”
“ayo makan siang dulu lah, tinggalin penat lo”
“ga bisa Barrraa… ini udah mepet semua”
“udah ayooo !”

       Pergelangan tangan ku di tarik barra dengan paksa, sakit sih, tapi apa daya perut sudah minta di kasih sumbangan. Lagi pula mana bisa konsen ngerjain kerjaan kalo perut keroncongan gak karuan.

       Barra adalah teman sekantor ku, kami dekat sejak pertama aku  bekerja disini. Dia lebih senior, sering membantu ku sejak awal awal aku masuk.  Tidak ada yang lebih soal perasaan, ya biasa saja. Aku hanya menganggap nya teman meski sering menyamar menjadi pacar rekayasa nya di saat saat tertentu.

“Meg, lo gak bosen apa gawe mulu, mantengin kompi indah lo?”
“jangan tanya Bar, udah muak gue bahkan dengan tugas bejibun dimeja gue”
“liburan yuk.. minta cuti lah seminggu. Kepala gue juga udah kliyengan nih, mata gue juga udah pengen liat yang seger seger”
“es batu kali seger..”
“yeh canda, serius nih gue..”

       Singkat cerita akhirnya kami meminta cuti di waktu yang bersamaan, kami pergi ke tempat indah di Pulau Gili Ttrawangan. Sejuk, indah, ah lupalah semua penat di kota ketika kami sampai disana dan disambut bisikan ombak yang terus mengajak menari. Tapi, kami putuskan untuk beristirahat sejenak di hotel, sebelum menyapa ombak ombak di tepi pantai.

        Tepat pukul 7 malam, suara bell pintu berbunyi, aku pikir siapa, ternyata Barra dengan cengiran khasnya berdiri kokoh di balik pintu. Ia mengajak ku untuk makan malam sembari menikmati suasana pantai di kala gelap. Tanpa pikir panjang, aku menyetujui ajakan nya. Kami duduk benar benar di restaurant  tepi pantai, disana juga ku lihat beberapa turis sedang menikmati hidangan dengan suasana tenang seperti ini. Lilin lilin sengaja di pajang untuk menambah kesan romantic, dan memang cukup membuat ku terkesan. Saat masuk, kami terlebih dahulu mengisi buku tamu di meja receptsionist, semua tamu wajib mengisinya tanpa terkecuali. Tak lama kemudian hidangan datang, dan kami tanpa basa basi langsung menyantapnya sambil bersenda gurau menghilangkan penat. Di sela sela itu..

“gue sayang sama lo Meg, cinta, udah lama..”
aku terdiam sejenak, berusaha menyadarkan diri dari sisa sisa makanan yang membuatku tersendak ketika mendengar pernyataan Barra yang tidak aku sangka.


“kok diem sih, jawab dong..”
“jawab apaan Bar, lo gak nanya apa apa kan sama gue”
“yehilah make basa basi, masa begitu aja ga ngerti, mau gak jadi pacar gue?”
“jangan bercanda ah, gak lucu Bar”
“apa setiap saat gue selalu bercanda Meg? Iya? Apa lo selalu nganggep gue bercanda Meg?”
“iya Bar maaf”
“yaudah jawab buruan ah”

           Hari itu, sungguh Barra menguak seluruh isi hati ku, menguak tentang si “Dia” yang entah kemana hadirnya selama ini. Tentang si “Dia” yang 6 tahun lamanya kunanti hari nya kembali. Tentang si “Dia” yang entah sudah menjadi milik siapa. Tentang si “Dia” yang….

“JAWAB WOY ! MALAH BENGONG! “

          Hentakan suara Barra membangunkan ku dari lubang masa lalu yang amat dalam ini. Aku masih berpikir membisu. Apakah ini jawaban dari segala penantian ku? Apakah ini ….

“Iya Bar, gue mau…. “

            Barra tersenyum lega mendenganya. Ya mungkin ini sudah waktunya aku megisi kembali ruang ruang yang kosong di hati ini, meski ada satu ruang yang tak pernah bisa terjamah oleh siapa pun. Ruang itu ruang dimana aku menyimpan segala puing penyesalan masa lalu.

           Malam itu, sungguh luar biasa, aku dijadikan wanita paling bahagia di antara wanita lain. Sampai pukul 10 malam, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Barra jalan terlebih dahulu dan menunggu ku di pintu keluar. Sedangkan aku permisi untuk ke toilet. Setelah selesai dari toilet aku kembali ke meja makan ku untuk mencari ikat rambut yang terjatuh saat kami makan tadi sepertinya. Tiba tiba ada pelayan menghampiriku, ku  pikir ia hanya ingin membersihkan meja makan yang tadi kami tempati, ternyata ia memberiku sepucuk surat.

“Dari siapa ini ..”
“Dari orang di seberang sana bu..”  ia menunjuk sebuah meja yang sudah kosong tanpa penghuni.



“kok gak ada?”
“mungkin sudah pulang..”
“baik terimakasih ya .”
“iya Bu..”

Pelayan itu menjauh meninggalkanku, perlahan aku buka surat itu, dan isinya….

“ngapain Meg, lama amat, aku nunggu kamu loh dari tadi..”
“iya iya maaf, aku mencari ikat rambut yang terjatuh tadi Bar.”
“yaudah yuk pulang, udah malem, angin malam kan ga bagus buat kamu” 
Aku urungkan niat ku membuka nya.

     Pagi yang cerah telah datang, dengan segala keindahan yang menyentuh jiwa. Terimakash tuhan kau masih memberi kesempatan kami melihat indahnya hari ini. Aku teringat pada sepucuk surat malam itu, ku cari di tas ku, dan bersyukurlah masih dalam keadaan utuh. Perlahan ku buka…



“Bahagialah semampu mu”

       Hah? Cuma tiga kata, dengan makna yang ambigu, di tambah pengirim yang misterius, sungguh aku tidak memperdulikan surat itu. Ah mungkin hanya surat dari orang iseng, tepisku.

       Setiap hari semasa liburan, kami selalu makan malam di tempat itu, dan aku pun selalu mendapatkan  sepucuk surat di tiap harinya dengan isi yang berbeda.

“Tersenyum, dan aku bahagia melihat nya”

       Itu isi surat ke 5 yang aku baca, semakin lama semakin penasaran ku di buatnya, namun Barra tidak pernah mengetahui nya sedikitpun. Kami putuskan kembali ke Jakarta  dengan jiwa penasaran yang masih membumbui surat surat ini.
-:-

       Aku kembali melakukan rutinitas seperti biasanya, dengan tumpukan tugas di meja kantor ku. Setiap hari libur, aku dan Barra menyempatkan diri pergi ke Gili Trawangan, ya untuk sekedar mengenang saat saat awal kami berpacaran. Setiap liburan pula aku berkunjung ke restaurant favorit kami, dan setiap itu pula aku mendapatkan kiriman surat surat yang di antar oleh pelayan resto. Bukan 1 atau 2 buah  surat, tapi ini lebih dari 10 surat, yang entahlah apa maksud dari semua ini..

“Kok banyak banget pak?”
“Iya Bu, hampir setiap hari orang itu  menitipkan surat untuk diberi ke Ibu. Ibu juga udah lama gak kesini, jadi surat surat disini numpuk bu.. Setiap hari saya nunggu di buku tamu berharap ada nama ibu, dan baru hari ini ada nama ibu.”
“oh iya deh pak, makasih ya..”

        Sungguh ini tak biasa, aku baca semua surat nya, aku coba pahami sekata demi sekata.  Perasaan ku benar benar sudah tidak bisa menganggap ini hal biasa, aku ingin tahu siapa yang mengirim surat singkat ini.
Tanpa sepengetahuan Barra, pagi nya aku mengunjungi restaurant tempat setiap malam kami makan. Aku mencoba mengais segala informasi, aku cari dan aku perhatikan setiap nama di buku tamu itu, beribu ribu nama orang tersemat di buku itu, namun, tidak ada yang ku kenal satu pun, satupun. Ketika aku melemah dan mulai kecewa, aku ingat ! di sini ada beberapa cctv, yang bisa kuminta datanya. Berkat bantuan kerabat, akhirnya aku bisa masuk ke ruang cctv, dimana terdapat beberapa monitor, dan beberapa alat yang tidak aku kenal. Aku masih ingat letak kursi yang di tunjukan pelayan itu ketika pertama kali memberiku surat, aku masih ingat betul tanggal dan waktunya. Aku dan petugas cctv mencoba terus menelusuri setiap detik demi detik di cctv itu. Gambar nya cukup buram, susah dikenali, aku mencoba mengingat,  aku coba terus menggali ingatan ku sedalam yang aku mampu, mencoba memaksa otak untuk membuka rekaman di setiap detik di kehidupan ku. Aku tercengang.. tetesan ini... aku tak bisa menahannnya…
“ Genta….“ bisik ku lirih.

0 comments:

Post a Comment